Langsung ke konten utama

Perlunya Transformasi Jalur Distribusi Speedy

Jalur distribusi merupakan salah satu titik vital dalam rantai bisnis. Tingkat kepentingannya memang berbeda-beda tergantung model bisnis, sifat produk, jangkauan alat produksi dan channel industry. Yang jelas, semua jenis bisnis membutuhkan jalur distribusi. Pada konsep bauran pemasaran 4P, jalur distribusi terwakili dengan Place.

Seringkali pelaku bisnis tidak merencanakan jalur distribusi secara serius, karena justru pasar yang telah membentuknya dan pelaku bisnis tinggal mengikuti saja. Sebagai contoh Blackberry di Indonesia. Sebelum tahun 2008, di saat RIM belum merencanakan penjualan di Indonesia, produk Blackberry bundling Verizon dan Sprint sudah berdatangan melalui pasar gelap. Begitu tingginya permintaan, akhirnya pasar Indonesia membentuk sendiri jalur distribusi yang tidak punya kaitan sedikit pun dengan RIM di Kanada. Struktur distribusi Blackberry di Indonesia sudah begitu kuat sebelum RIM memikirkannya.

Contoh lain adalah pulsa isi ulang. Sekitar tahun 1997 Telkomsel mengenalkan produk pra-bayar. Sebuah konsep inovatif yang diklaim sebagai yang pertama di Asia Tenggara. Pada saat itu pengguna telekomunikasi telah mengenal kartu telepon umum magnetik yang dijual oleh Telkom dan didistribusikan melalui kantor pelayanan Telkom, wartel, koperasi sekolah, studio foto, dan toko-toko yang terpasang telepon umum tersebut. Saat itu juga ada beberapa merk calling card yang memanfaatkan jalur distribusi yang sama. Bisa dipastikan Telkomsel tidak membayangkan bahwa inovasinya bakal melibatkan lebih dari setengah juta pedagang pulsa dan membentuk pola distribusi yang cukup komplek seperti saat ini.

Demikian halnya dengan Speedy, jalur distribusi terbentuk tanpa perencanaan yang memadai. Pengalaman mengelola PSTN dan Flexi sangat mewarnai pola distribusi Speedy saat ini. Berbagai masalah sejatinya selalu muncul, namun sering disolusi secara spontan tanpa keberanian untuk mewujudkan sistim dealership yang fit dan ideal.

Jalur Distribusi Speedy

Speedy didistribusikan kepada pelanggan melalui tujuh jalur yaitu: Telkom Store (Plasa Telkom), Inbound 147, Outbound Telemarketing, Partnership Store, Dealership, Commander atau Community, dan Virtual (Sms atau web).

Kontribusi terbesar masih disumbang Dealer dan Commander yaitu berkisar 70 persen. Plasa Telkom menyumbang 12 persen, Inbound 147 dan Outbound Telemarketing menyumbang sekitar 14 persen, dan sisanya Partnership store, sementara virtual boleh dibilang masih nihil.

Banyak pihak merasa yakin dan nyaman dengan tujuh channel saat ini, hingga tidak berani mengevaluasi apalagi merombaknya. Permasalahan yang dihadapi selalu diselesaikan secara spontan dan temporer. Karenanya, ada baiknya kita cermati beberapa permasalahan serius jalur distribusi Speedy sebagai berikut:

1.Skema dealership tidak fit (one time buying), berbiaya tinggi dan cenderung naik terus, bersifat jangka pendek dan kinerja mitra memprihatinkan
2.Konflik antar channel selalu terjadi, dan cenderung merugikan semua pihak, termasuk Telkom
3.Konversi RE to PS cenderung turun, salah satunya disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan antar channel (di beberapa area tertentu).
4.Pelangan diserang habis-habisan dari berbagai channel tanpa koordinasi data, bahkan pelanggan yang sudah aktif pun masih terkena serangan (kasus ini telah di respon langsung oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan, melalui SMS kepada Dirut).


Transformasi Jalur Distribusi

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam membentuk jalur distribusi adalah: model bisnis, sifat produk, jangkauan alat produksi dan channel industry.

Model bisnis. Speedy adalah produk berlangganan, pendapatan perusahaan didapat dari tagihan bulanan yang berasal dari penggunaan Speedy atau nilai tambah lainnya. Pendapatan per pelanggan dihitung dari rata-rata tagihan bulanan dikalikan rata-rata umur pelanggan. Pertumbuhan pendapatan diperoleh melalui penyediaan nilai tambah dan memperpanjang umur pelanggan dengan program after sales service yang efektif. Dengan model bisnis demikian, seharusnya mitra Speedy juga menikmati hal yang sama. Tidak fair, jika pendapatan Speedy diperoleh bulanan, sementara mitra hanya menikmati pendapatan sekali saja. Kondisi yang tidak fit ini pasti menimbulkan ketimpangan.

Sifat produk. Speedy merupakan produk berbasis teknologi yang memerlukan edukasi dan bukan merupakan kebutuhan dasar. Speedy merupakan produk berbasis internet, dimana calon pelanggan dipastikan sudah terbiasa online, paling tidak sosial media. Dengan kondisi demikian, seharusnya Speedy dijual secara online, sedangkan interaksi face-to-face hanya komplementer saja.

Jangkauan dan alat produksi (termasuk Delivery dan provisioning). Produk hanya bisa dijual kepada pelanggan PSTN yang jaringannya telah diupgrade dengan kemampuan Speedy. Validasi data jaringan dan provisioning kadangkala sulit dilakukan dan bahkan seringkali menjadi kendala serius. Demikian juga dengan waktu delivery juga relatif sulit dijaminkan.

Channel Industry. Operator internet kabel relatif hanya Telkom dan First media. First Media pun hanya berada di beberapa kota saja. Sehingga praktis internet kabel dimonopoli Telkom. Dengan kondisi ini, jalur distribusi dipegang seluruhnya oleh Telkom. Konsekuensinya biaya pengelolaan jalur distribusi relatif mahal.

Dengan pertimbangan aspek tersebut, bentuk jalur distribusi yang relevan dijelaskan di bawah ini. Penjelasan di sini tidak mencakup hal yang sangat terperinci, namun fokus pada hal-hal pokok yang strategis. Pada gilirannya, implementasi konsep harus tetap memperhatikan hal rinci untuk mendapatkan hasil sesuai harapan.

Strategi Dasar

Pertama. Jalur distribusi dikelompokkan menjadi dua, yaitu direct channel (jalur distribusi langsung - JDL) dan indirect channel (jalur distribusi tidak langsung - JDT). JDL adalah jalur yang dikelola untuk dan atas nama Telkom, sedangkan JDT adalah jalur yang dikelola mitra. JDL harus dijadikan sebagai jalur utama dengan kontribusi yang terus ditingkatkan. Sementara JDT menjadi jalur komplemen guna menutup celah-celah yang tidak terjangkau oleh JDL, dan percepatan penjualan. JDL dan JDT tidak boleh saling bersinggungan apalagi bersaing dan saling mematikan. JDT merupakan mitra strategis dan profesional, dengan skema long term partnership. JDL terdiri dari Plasa Telkom, inbound selling, outbound selling, internet, mobile apps dan sms. Internet dan mobile apps merupakan kunci dan tumpuan direct channel. Sedangkan JDT terdiri dari dealer, community, agregator, partnership store dan modern store.

Kedua. Aktifitas penjualan dikelompokkan menjadi dua, yaitu agresif dan responsif. Jalur distribusi yang melaksanakan agresif selling adalah outbound, dealer, community dan agregator. Community melakukan penjuaan agresfi sebatas kepada komunitasnya dan agregator melakukan penjualan sebatas kepada tenant atau merchant-nya. Sedangkan responsif selling dilaksanakan oleh Plasa Telkom, inbound, internet, mobile-app dan sms. Partnership store dan modern market melakukan cross-up selling kepada pelanggan masing-masing.

Ketiga. Jalur distribusi agresif seharusnya dikelola oleh unit penanggung jawab target. Sedangkan jalur responsif dapat dikelola dengan prinsip efisiensi dan efektifitas.

Keempat. Zona marking. Setiap jalur harus memiliki zona tertentu. Zona dapat berupa wilayah teritori atau pun segmen spesifik. Tidak diperkenankan terjadinya cross-territory. Tujuan zona marking adalah memastikan tidak terjadinya konflik antar jalur distribusi.

Strategi Implementasi

Plasa Telkom.

Plasa Telkom tidak semata menjadi tempat pelanggan menyampaikan gangguan dan keluhan, namun harus dioptimalkan untuk fungsi penjualan. Fungsi penjualan tidak hanya menjadi tugas mobile CSR (Angle, Sales Representatif), namun harus melekat pada seluruh CSR melalui aktifitas cross-selling dan up-selling. Plasa Telkom harus mampu mengkolaborasikan berbagai provider CPE dan konten agar dapat menyajikan paket penjualan yang utuh dan memberikan pengalaman yang berbeda kepada pelanggan. Plasa Telkom perlu di dress-up ulang agar lebih catchy. Plasa perlu aktif menyelenggarakan event off-air agar memiliki selling point propotition yang memadai. Telkom harus berani mempromosikan Plasa Telkom sebagai point of sales yang menyenangkan. Dengan empowering tersebut dan jumlah yang lebih dari 700 titik di seluruh nusantara, seharusnya Plasa Telkom mampu meningkatkan kontribusinya dari 12 persen menjadi 20-an persen.

Regional Outbound Call

Berdasarkan survey, pengamatan langsung serta wawancara dengan banyak outbound call di berbagai area, penulis berpendapat bahwa Telkom tidak punya pilihan lain, kecuali harus dengan segera membenahinya secara serius dan komprehensif. Banyak kenyataan memprihatinkan yang perlu mendapat perhatian, antara lain sebagai berikut. Pertama, data demand digunakan bersama-sama antara outbound call nasional, regional dan area. Mereka tidak terhubung oleh sistim informasi yang terintegrasi, bahkan mereka juga tidak mengenal mekanisme karantina data. Sebagai konsekuensi dari hal ini, seorang pelanggan dapat di hubungi beberapa kali dalam sehari oleh outbound yang berbeda. Pernyataan pelanggan kepada satu outbound sama sekali tidak diketahui oleh outbound yang lain. Saking parahnya kondisi ini, muncul anekdot di kalangan Telkom, "kalo tidak mau di bel lagi, ya cepetan aja pasang Speedy". Bahkan seorang pelanggan pernah bercerita "saya capek di bel Telkom, akhirnya setuju pasang. eee...ternyata besok harinya masih di bel lagi di tawari Speedy". Memang kondisi ini terjadi di industri lain seperti kartu kredit. Namun apakah juga harus terjadi di Telkom?

Kedua, kondisi agen dan sarana outbound jauh dari memadai, khususnya untuk outbound di area. Beberapa area merekrut agen tanpa spesifikasi, boleh di bilang "asal ada yang mau". Prosedur kerja mereka juga "semaunya, asal dapat transaksi". Agen bekerja tanpa scripts, sedangkan data demand dipegang pada lembaran kertas cetakan. Perangkat telepon yang digunakan seharga puluhan ribu rupiah, tanpa speaker apalagi headset dan perekam. Dengan kondisi demikian, wajar saja jika output mereka jauh dibawah cukup. Memang ada yang bisa tembus di atas 20, namun pada umumnya hanya kisaran 5 SSL untuk setiap bulannya.

Outbound call merupakan benang kusut, namun bukan berarti tidak bisa diperbaiki. Upaya perbaikan pasti membutuhkan waktu, keberanian dan sedikit spekulasi. Berikut alternatif solusi yang mestinya dicoba.

Untuk menghindari cross-territory, outbound call diselenggarakan satu level yaitu oleh kantor pusat saja atau divisi saja atau regional saja atau area saja, yang terpenting tidak dilakukan oleh dua level yang berbeda. Pengelolaan outbound yang terpusat menjadi semakin sederhana dan efisien. Sedangkan pengelolaan desentralisasi berdampak pada kompleksitas dan inefisiensi. Namun demikian pengelolaan outbound di regional atau area menjadi pilihan terbaik, karena regional dan area adalah unit terkecil penanggung jawab target penjualan, mengenali budaya dan bahasa lokal dan mengetahui kondisi alat produksi serta kecepatan aktifasi (delivery dan provisioning).

Prasyarat mutlak untuk outbound Regional dan Area adalah kebijakan dan standarisasi operasional serta integrasi sistim aplikasi dan data demand. Kebijakan antara lain meliputi pengelolaan agen, data demand, bisnis proses, code of conduct penawaran atau scripts, recording, quality assurance, sarana dan pra sarana, target dan evaluasi serta reward dan insentif.


New Product Outbound Call (NPOC)

Sudah tiga tahun Telkom berpengalaman menjual produk bundling, namun harus diakui belum satu pun sukses di pasar. Sementara biaya dan effort yang telah keluar cukup signifikan. Beberapa penyebab kegagalan produk bundling adalah paket produk kurang sesuai kebutuhan pasar, jalur distribusi existing tidak efektif, proses provisioning dan delivery yang komplek.

NPOC dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah kedua, yaitu jalur distribusi yang kurang efektif. Dengan NPOC berbagai permasalahan produk baru dan bundling dapat secara cepat diketahui dan dicarikan solusi. Proses dan waktu untuk penyiapan NPOC jauh lebih cepat dibanding mempersiapkan jaringan distribusi di seluruh indonesia. Dengan NPOC tim pengembang produk dapat melakukan pengawalan pra dan paska launching secara end-to-end.

NPOC dikelola secara terpusat, diselenggarakan oleh mitra, Infomedia. Untuk fleksibilitas skema bisnis NPOC sebaiknya menggunakan pola seat management bukan cost per transaksi.

Feet on The Street (FOS)

Sejauh pengamatan di lapangan disimpulkan bahwa pengelolaan dealer, lebih spesifik disebut sebagai feet on the street (FOS), boleh dibilang masih tahap pembelajaran. Hal ini dimaklumi, karena implementasi FOS baru dimulai akhir 2010, tidak dilengkapi dengan kebijakan yang memadai dan cenderung bersifat trial and improvement. Mitra FOS didominasi oleh Kopegtel atau pengusaha kecil yang tidak punya kemampuan finansial dan management yang memadai. Mitra FOS bukanlah mitra strategis, lebih tepat disebut sebagai 'pesuruh Telkom', memiliki posisi tawar yang tidak sebanding dan kerjasama bersifat jangka pendek. Oleh karenanya sangat wajar jika kinerja mitra sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, satu mitra pada umumnya mengelola agen 5-20 orang, dengan penjualan per agen sebulan hanya kisaran 7 SSL. Jika sales fee berkisar 150 ribu rupiah, maka omset mitra dalam sebulan berkisar 21 juta rupiah. Dengan angka ini, bisa dihitung take home pay yang dikantongi agen dan margin yang dinikmati mitra. Pertanyaannya, menarik-kah bisnis ini bagi investor? Jawabannya, tidak!

Menaikkan sales fee merupakan cara mudah yang sering dieksekusi manajemen, padahal cara ini bertentangan dengan semangat efisiensi perusahaan. Cara ini juga bakal menjebak perusahaan, karena nilainya tidak pernah bisa dipangkas, malah sebaliknya cenderung naik.

Lantas, bagaimana solusinya? Solusi harus bersifat mendasar, merubah skema partnership. Kenapa demikian? Mari kita kaji.

Produk Speedy merupakan produk berlangganan, dimana pendapatan Telkom diperoleh dari pembayaran bulanan. Karakter produk ini adalah serupa dengan pra-bayar seluler, asuransi, mobil dan produk sejenis lainnya. Dealer seluler tidak berharap banyak dari penjualan kartu perdana, karena mereka menarik untung dari penjualan pulsa isi ulang. Agen asuransi punya motivasi tinggi karena mereka tidak hanya dapat fee saat transaksi, namun juga dapat bagian saat pembayaran premi berikutnya. Dealer mobil tidak fokus pada margin penjualan, karena mereka berharap dari after sales service dan penjualan spare part. Pada prinsipnya, jika produsen memperoleh pendapatan berulang setelah penjualan, maka dealer pun harus mendapatkan model bisnis yang sama.

Berbeda halnya dengan agen property, maklar mobil dan produk sejenisnya. Sifat bisnisnya one time transaction, sekali beli selesai. Dengan skema bisnis ini, mereka cenderung mengambil fee sebesar-besarnya, karena tidak akan memperoleh repeat buying di kemudian hari.

Karena Speedy merupakan produk kategori pertama, maka tidak relevan jika skema kerjasama dengan dealer mengikuti kategori kedua. Dengan demikian, skema kerjasama tidak sebatas penjualan produk namun terintegrasi dengan after sales service. Skema ini memang tidak mudah diterapkan, apalagi pekerjaan after sales service dikelola oleh divisi yang berbeda (Divisi Akses). Tantangan ini memang harus dijalani, jika kita menghendaki mitra strategis yang sepadan.

Perluasan lingkup kerja belumlah cukup, karena mitra strategis selalu terkait dengan skala ekonomi. Mitra perlu memperoleh skala ekonomi yang memadai, agar struktur biaya menjadi efisien dan memberi peluang bagi mereka untuk berinvestasi jangka menengah bahkan jangka panjang.

Selain skema bisnis kemitraan, hal penting lain yang perlu dibenahi adalah:
1.Lingkup kerja FOS. FOS hendaknya dibatasi hanya untuk kegiatan door to door, dukungan pameran dan sejenisnya. FOS tidak diperbolehkan melakukan outbound dan aktifitas lain yang menjadi porsi jalur distribusi lain.
2.Strategi dan perencanaan teritori. Produktifitas sales force tidak pernah lepas dari strategi dan perencanaan teritori. Termasuk dalam kegiatan ini antara lain klusterisasi, jumlah mitra, jumlah agen.
3.Kompetensi sales force. Rekrutasi, training, kinerja, reward dan punishment merupakan perangkat standar yang belum terimplementasi dengan baik.
4.Database management. Sampai dengan saat ini para sales force hanya memegang data prospek yang dikeluarkan Siska, tanpa ada pengelolaan yang memadai. Pengkayaan data, analisis, merupakan salah satu cara untuk memacu kinerja sales force.

Agregator dan Community

Sejauh ini konsumer belum menggarap segmen agregator, seperti pengembang perumahan, pengelola gedung dan mall, dan sejenisnya. Padahal potensi pasar ini sangat besar. Beberapa skema bisnis yang perlu disiapkan untuk segmen ini antara lain sales fee, retention fee, revenue sharing dan bulk discount.

Jika agregator didekati dengan empat skema di atas, lain halnya dengan komunitas. Komunitas harus didekati dengan konsep marketing community. Pendekatan bisnis kurang relevan terhadap segmen ini. Perlu disiapkan anggaran dan program untuk pemenuhan kebutuhan spesifik bagi masing-masing komunitas. Namun demikian tetap perlu dievaluasi kaitan antara biaya dengan potensi sales ataupun revenue yang bisa diraih.

Demikian rekomendasi transformasi jalur distribusi yang diyakini bisa meningkatkan efektifitas distribusi Speedy. Konsep ini juga relevan untuk distribusi Groovia, dengan penekanan pada beberapa jalur tertentu khususnya untuk masa promosi. Semoga rekomendasi dasar ini dapat ditindaklanjuti dengan rencana detail untuk implementasi lapangan. Selamat mencoba dan sukses.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 360 Leader - John C Maxwell

Hampir semua pemimpin memiliki pimpinan yang lebih tinggi. Bolehlah dibilang, tidak ada pemimpin yang tidak memiliki pemimpin diatasnya. Karenanya, buku The 360 Leader karangan John C. Maxwell ini sejatinya adalah untuk semua pemimpin, bukan hanya untuk para manajer yang selalu berada di bawah para pemilik perusahaan. Pun demikian, penjelasan buku ini memang lebih difokuskan kepada para manajer, senior manajer dan para pemimpin sejenis dalam perusahaan yang berada di bawah kepemimpinan orang-orang di atasnya. Buku setebal 400 halaman ini mengawali penjelasanya dengan 7 mitos tentang memimpin dari bagian tengah. Berikutnya menjelaskan tantangan yang dihadapi pemimpin 360 Derajat. Pada bagian ketiga dijelaskan bagaimana memimpin ke atas. Bagian keempat dan kelima menjelaskan praktik memimpin ke samping dan ke bawah. Pada bagian akhir dijelaskan nilai-nilai pemimpin 360 Derajat. Prinsip utama dari kepemimpinan 360 derajat adalah bahwa pemimpin bukanlah posisi, melainkan pe

WIMAX KANDIDAT JARINGAN 4G

Pada awal tahun 2000-an, bahkan sampai dengan saat ini kita sudah sangat familiar dengan teknologi Wi-Fi, diantaranya adalah wireless yang kita gunakan sehari-hari di Laptop. Teknologi Wi-Fi di Laptop ini merupakan implementasi dari standar IEEE 802.11x, yang sebenarnya telah mengalami perkembangan dari mulai 802.11a, 802.11b sampai 802.11g. Perkembangan tersebut menghasilkan kecepatan dan jangkauan yang lebih baik, spektrum frekuensi yang lebih efisien dan sebagainya. Teknologi Worldwide Interoperability for Microwave Access (Wimax) merupakan implementasi standar IEEE 802.16x, yang notabene adalah pengembangan dari teknologi Wi-FI dengan standar IEEE 802.11. Wimax dikembangkan oleh Wimax Forum yang dimotori lebih dari 400 vendor global seperti Intel, Siemens, ZTE, Nokia dan lainnya. Secara umum kita mengenal dua jenis Wimax, yaitu Wimax untuk jaringan tetap atau disebut Fixed Wimax, dan Wimax untuk jaringan bergerak atau sering disebut Mobile Wimax. Teknologi Fixed Wimax mampu menduk

Liburan Keluarga di Kuala Lumpur

Masjid Putra Kunjungan Kuala Lumpur kali ini merupakan yang ke sekian kalinya, tapi menjadi yang pertama kali untuk liburan keluarga. Liburan keluarga selalu mendapatkan pengalaman yang berbeda dibandingkan liburan bersama teman kantor, apalagi jika dibandingkan dengan perjalanan dinas. Seperti biasanya, kami memilih untuk ''berjalan sendiri", tanpa bantuan agen travel atau pun guide lokal. Otomatis, saya akan menjadi EO sekaligus guide-nya. Kami sudah pesan tiket jauh hari, agar keluarga merasa nyaman dan tentu saja agar harga tiket lebih miring. Kami mendapat tiket Malaysia Airline PP sekitar 1,7 juta rupiah, karena berdekatan dengan liburan Natal. Jika waktu kunjungan jauh dari liburan bersama, mungkin bisa mendapatkan tiket lebih hemat. Untuk akomodasi, kami pilih tengah kota, agar mudah jalan kaki kemana pun, dan tentu saja dekat dengan Petronas Twin Tower. Tidak usah kawatir harga mahal, buktinya saya mendapatkan hotel butik yang sangat nyaman, denga