Menjelang
keberangkatannya ke Silicon Valley bulan lalu, Menkominfo telah mengumumkan
sederet mimpi untuk Indonesia 2020, antara lain The largest digital economy in the region, nilai e-commerce tembus
USD 130 miliar dan jumlah teknopreneur sebanyak 1.000 startup.
Mimpi
yang Fantastis!. Namun bukan berarti tidak realistis. "Ini sebuah mimpi,
tapi realistis. Untuk menerapkan ini kita butuh teknopreneur, inkubator,
mentor, pendanaan apakah itu dari venture capital atau dari angel investor".
Demikian pernyataan Menkominfo, seperti dikutip Detikinet (21/10).
Apakah
itu sudah cukup? Belum. Pernyataan tersebut baru sebagian dari application, sedangkan yang dibutuhkan,
paling tidak tiga hal, device, network dan application, atau DNA. Dari tiga hal di atas, yang paling berat
bagi Indonesia adalah network,
karenanya, menjadi fokus tulisan ini.
Bagi
industri telekomunikasi, peran network
atau jaringan internet bagiakan jalan raya. Kondisi jalan raya yang amburadul, tidak tersedianya jalan tol
yang cukup, dipastikan berdampak pada kemacetan ruwet, menimbulkan ekonomi biaya tinggi, dan akhirnya daya saing
rendah.
Visi
the largest digital economy in the region,
yang tidak didukung oleh jaringan internet yang mumpuni, sudah tentu menjadi
mimpi kosong.
Faktanya,
kecepatan internet Indonesia menduduki peringkat 122 dunia. Peringkat yang
rendah disebabkan karena kelambatan adopsi teknologi seluler 4G LTE dan
minimnya teledensitas fixed broadband.
Percepatan
teknologi seluler dapat dilakukan dengan mempercepat implementasi LTE-Advanced-CA
dan adopsi 5G. Sedangkan peningkatan teledensitas fixed broadband dapat ditempuh dengan peningkatan kesadaran
masyarakat, penerbitan paket kebijakan untuk mendorong investasi jaringan yang
lebih efisien, dan implementasi ide “berbagi jaringan”.
Berikut
penjelasan dari masing-masing fakta dan tantangan tersebut.
Internet Peringkat 122
Dunia
Menurut
laporan Akamai Technologies, pada triwulan
keempat 2014, rata-rata kecepatan internet di Indonesia hanya 1,9 Mbps,
bertengger di posisi 122 dunia. Peringkat ini jauh di bawah Philipina di posisi
101 dengan kecepatan 2,7 Mbps dan Vietnam di posisi 99 dengan kecepatan sedikit
di atasnya.
Baru-baru
ini, ITU merilis laporan peringkat ICT Development Index (IDI), dan menempatkan
Indonesia di peringkat 108 dari 167 negara. Berada di bawah Indonesia antara
lain Ghana, Angola, Myanmar, Pakistan dan berada di ranking terbawah adalah
Chad.
Dilihat
dari sisi teledensitas, peringkat Indonesia juga belum menggembirakan. Laporan
Internet Society dan TRPC pada Maret tahun ini menyebutkan, teledensitas
Indonesia masuk kelompok ketiga, yaitu di bawah 25 persen, yang meliputi
Indonesia, Laos, Kamboja dan Myanmar. Kelompok kedua, dengan teledensitas di
bawah 50 persen adalah Vietnam, Philipina dan Thailand. Sedangkan kelompok
pertama, negara dengan teledensitas di atas 50 persen adalah Singapura,
Malaysia dan Brunei.
Terlambat Adopsi LTE
Kinerja
Menkominfo patut diapresiasi, hanya dalam beberapa bulan setelah di lantik, LTE
(Long Term Evolution atau biasa di
sebut 4G) diluncurkan di negeri tercinta Indonesia. Di awali oleh Telkomsel
(8/12/14), disusul kemudian oleh XL, Indosat, dan Smartfren.
Langkah
Menkominfo memang terkesan buru-buru. Namun bisa dimengerti, mengingat adopsi LTE di Indonesia sudah terlambat jauh
dari negara lain, bahkan kalah cepat dengan Negara-negara Afrika. Seperti kata
pepatah, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.
Untuk
diketahui, di saat LTE diluncurkan, jumlah pengguna LTE global sudah mencapai
498 juta. Jumlah tersebut tersebar pada lebih dari 400 operator dan lebih dari
140 negara. Tidak hanya di negara maju, namun telah banyak negara berkembang. Seperti
Angola, Tanzania dan Namibia di benua Afrika. Bahrain, Oman dan Libanon di
belahan Timur Tengah. Bahkan di Asia Tenggara, tidak hanya dirasakan rival
dekat seperti Malaysia, Thailand dan Philipina, tapi sudah hampir semua negara.
Meskipun
saat ini usia LTE sudah setahun, kualitas dan kecepatannya belum layak disebut
LTE. Pengguna belum merasakan perbedaan berarti dibanding dengan teknologi
sebelumnya, 3G. Hal ini karena frekuensi yang digunakan 900 MHz dengan lebar
pita hanya 25 Mhz.
Beruntung,
November ini, frekuensi 1.800 MHz sudah mulai dimanfaatkan, sehingga LTE sudah menempati
dua rentang frekuensi, yaitu 900 MHz selebar 25 Mhz dan 1.800 MHz selebar 75
Mhz, kecuali Smartfren yang menggunakan frekuensi 850 MHz dan 2.300 MHz.
Dengan
demikian, boleh dibilang, sebetulnya LTE Indonesia baru berjalan efektif bulan
ini, disaat jumlah pengguna LTE global hampir mencapai satu miliar, menurut
perkiraan GSA (Global mobile Suppliers
Association).
Fixed Broadband Kurang
dari 2%
Buku
Saku TIK tahun 2014 terbitan Kemenkominfo memaparkan, akses rumah tangga
terhadap telepon kabel sebesar 5,8%, sedangkan teledensitas fixed broadband sebesar 1% atau 3,2 juta
pelanggan.
Dengan
memperhatikan tren tahunan, diperkirakan jumlahnya akan mendekati 4,5 juta pada
akhir tahun ini. Angka ini setara 1,8% dari jumlah penduduk atau 6,9% dari
jumlah rumah tangga.
Semua
Negara yang menyandang gelar internet tercepat seperti Korea Selatan, Jepang
dan Singapura selalu memiliki teledensitas fixed
broadband di atas 25% terhadap jumlah penduduk, atau di atas 75% terhadap jumlah
rumah tangga.
Hal
tersebut mengindikasikan, kecepatan internet di suatu Negara selalu di topang
oleh fixed broadband, bukan seluler.
Karena fixed broadband, mampu
memberikan kecepatan, kestabilan dan kualitas yang jauh lebih tinggi dari
seluler.
Tantangan Mobile
Broadband LTE
LTE
merupakan teknologi seluler mainstream
masa depan, tidak ada keraguan sedikit pun. Pemerintah perlu percaya diri dan
segera menyusun roadmap terhadap
teknologi paling unggul ini. Teknologi lain seperti Wimax, Google Loon,
Facebook Free Basics, Open BTS dan sejenisnya diperkirakan punya skala
terbatas, menjadi pelengkap untuk kondisi khusus.
Tantangan
mobile broadband LTE adalah membuat
lompatan percepatan LTE-Advanced dengan carrier
aggregation dan adopsi 5G lebih cepat.
Untuk
percepatan carrier aggregation, perlu
segera pembebasan frekuensi lebih banyak. Frekuensi 900 MHz dan 1.800 MHz yang
sudah ada belum cukup. Perlu langkah berani dan cepat untuk memanfaatkan frekuensi
2.100 MHz dan 700 MHz. Perlu diingat, pembebasan frekuensi 1.800 MHz memakan
waktu lebih dari setahun, agar menjadi pelajaran dan tidak terulang.
Pada
umumnya Indonesia mengadopsi teknologi baru berkisar 4-7 tahun setelah
teknologi seluler diluncurkan. Termasuk adopsi LTE tahun ini, yang berselang 5 tahun
dari peluncuran pertamanya di Stockholm pada Desember 2009. Jika mengikuti
pengalaman sebelumnya, maka adopsi 5G akan terjadi sekitar tahun 2025, karena
teknologi tersebut akan diluncurkan pada 2020.
Pemerintah
perlu menyiapkan agar adopsi 5G terjadi 1-2 tahun setelah dikomersialkan. Kurang
tepat, jika saat ini pemerintah hanya fokus 4G, dengan alasan 5G masih lama. Persiapan
memang butuh waktu lama, karena menyangkut ketersediaan frekuensi, ekosistim
dan daya beli pasar.
Tantangan Fixed
Broadband Fiber Optik
Apakah
fixed broadband bisa dikesampingkan,
karena sudah cukup dengan LTE? Jawabannya pasti tidak. Indonesia tidak bisa
menaikan peringkat internet secara signifikan, jika hanya mengandalkan seluler.
Karena Negara-negara yang memiliki peringkat tinggi selalu memiliki
teledensitas fixed broadband yang
tinggi pula.
Motivasi
percepatan fixed broadband tidak
semata-mata demi mengejar peringkat. Yang lebih penting adalah guna mendorong
usaha kecil menengah, termasuk di dalamnya startup
dan e-commerce. Segmen komersial lebih membutuhkan fixed broadband, karena menjamin kecepatan, kestabilan dan
kualitas. Sedangkan seluler pada umumnya dibutuhkan oleh pengguna atau
konsumen.
Tantangan
utama percepatan fixed broadband
adalah: Pertama, membangun kesadaran
masyarakat. Kedua, menggelar jaringan.
Ketiga, pemerataan.
Yang
dimaksud kesadaran masyarakat adalah pemahaman tentang pentingnya fixed broadband untuk kemajuan bangsa.
Juga pengetahuan tentang fixed broadband
yang menggunakan teknologi fiber optik, sangat berbeda dengan kabel tembaga
yang selama ini sudah dikenal.
Dengan
kesadaran masyarakat, operator akan dimudahkan dalam mengganti atau menginstal
jaringan baru fiber optik di rumah-rumah. Pengembang perumahan juga diharapkan
telah menyiapkan saluran, jaringan atau sistem yang sesuai dengan fiber optik,
bukan menyiapkan tembaga atau teknologi lama lainnya.
Kesulitan
penggelaran jaringan muncul dari proses perijinan, gangguan di lapangan dari
pihak-pihak yang tidak terkait, wilayah yang luas dan banyak pulau, kondisi
jalanan yang belum tertata, perencaan tata kota yang kadang berubah dan masih
banyak lagi.
Tidak
mudah mengatasi masalah di atas, karena menyangkut birokrasi, sosial
kemasyarakatan, kondisi geografi dan seterusnya. Untuk itu, perlu dirumuskan paket
kebijakan yang kreatif dan implementatif. Hal ini penting, karena seluruh
permasalahan tersebut berdampak kepada biaya penggelaran jaringan yang sangat
tinggi dan waktu proyek yang jauh lebih lama.
Saat
ini operator fixed broadband lebih
dari delapan. Namun sayangnya, tidak merata, terkonsentrasi di kota besar saja.
Hal ini bisa dimaklumi, karena operator kawatir investasi di kota kecil sangat
besar, sementara daya beli pasar dianggap belum siap. Diperlukan insentif atau kebijakan
khusus dari pemerintah, agar operator lebih percaya diri berinvestasi.
Ide
“berbagi jaringan” patut untuk
dipertimbangkan. Berbagi jaringan tidak hanya cocok untuk seluler, namun juga
cocok untuk fixed broadband.
Diharapkan ide tersebut menjadi salah satu solusi terhadap masalah penggelaran
jaringan, sekaligus masalah pemerataan.
Misalnya,
pemerintah daerah membangun sendiri jaringan fixed broadband di wilayahnya, selanjutnya dimanfaatkan oleh semua
operator yang telah berlisensi. Contoh lain, untuk kawasan perumahan tertentu,
dimana hanya diijinkan satu kabel, di bangun satu jaringan saja, yang
dimanfaatkan bersama oleh semua operator.
Tantangan-tantangan di atas bukanlah hal mudah. Butuh komitmen, keberanian, dan dukungan semua pihak terkait agar bisa direalisasikan. Namun untuk visi yang amat mulai, tantangan tersebut patut untuk diperjuangkan.
Artikel ini sudah di muat Detik[cot]com pada 11 Desember 2015 dengan link berikut: http://inet.detik.com/read/2015/12/11/092946/3093132/398/fakta-dan-tantangan-broadband-indonesia?code=832e8bba29d1c470d4bfbf969d6977c19c66eeca
BalasHapusVersi PDF dapat di download pada link berikut:
https://www.dropbox.com/s/v11kgjfcn98vg9i/20151211_detikcom_FaktadanTantanganBroadbandIndonesia.pdf?dl=0
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus