Operator Fixed
Wireless Access (FWA) semakin terjepit. Kelangsungan produk yang sudah
sepuluh tahun itu semakin mengkawatirkan. Tidak hanya operator, pelanggan pun
akan dirugikan jika produk tersebut tidak berkelanjutan. Operator dan
pemerintah perlu mencari jalan keluar agar FWA yang sempat populer di era
2007-2009 ini tetap bisa dinikmati masyarakat.
FWA pertama kali
dikembangkan oleh Telkom pada akhir 2002. Mengusung teknologi CDMA 2000 1X, dengan
menduduki frekuensi 800 MHz. Operator FWA menerima lisensi sebagai
penyelenggara jaringan tetap lokal dengan akses radio, mengacu kepada UU
No.36/1999. Sesuai lisensinya, FWA
menggunakan kode area, sehingga mobilitas terbatas. Kabarnya lisensi ini
diterbitkan karena pemerintah menghendaki penyebaran jaringan tetap lokal
(Jartaplok) secara masif. Sebagai kompensasi, operator FWA hanya dibebani
kewajiban Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi seperdelapan kali dari seluler
atau GSM.
Saat masa
kejayaannya tahun 2009, jumlah pelanggan FWA mencapai 15 persen dari seluler,
yaitu 26,5 juta. Namun pertumbuhan berikutnya justru menurun, hingga pada akhir
2011 porsi FWA sebesar 11 persen dari total pelanggan seluler, yaitu 29,3 juta.
Pemain FWA saat
ini adalah Flexi, Esia, StarOne dan Hepi. Flexi dan Esia masih cukup eksis di
pasar, sedangkan StarOne dan Hepi boleh dibilang mulai menghilang. Indosat
nampaknya tidak tertarik mengembangkan FWA, hingga pelanggan StarOne dari tahun
ke tahun cenderung turun. Posisinya pada Q1-2012 sebesar 197 ribu. Serupa dengan
Indosat, SmartFren juga nampak enggan membesarkan Hepi.
Sejak dipasarkan
Telkom tahun 2003, Flexi menggebrak pasar dengan tarif semurah telepon rumah. Flexi
bergerak sangat cepat, meskipun pernah terhambat oleh kewajiban migrasi
frekuensi. Tahun 2010 Flexi sempat mencatat jumlah pelanggan sebanyak 18,1
juta. Tahun 2011 menjadi titik balik bagi Flexi dengan pelanggan 14,2 juta,
dibawah Esia.
Sejak masuk
pasar tahun 2005, pemasaran Esia dikenal cukup fenomenal. Beberapa inovasi sempat
meledak dan populer seperti Talk Time, SMS per karakter, dan HP Esia Ngoceh.
Pelanggan Esia terus meningkat, hingga untuk pertama kalinya melampuai Flexi
pada akhir 2011 sebanyak 14,6 juta. Namun demikian rapot keuangan Bakrie
Telecom justru mengejutkan. Keuntungan tiga tahun terakhir sebesar Rp 98
miliar, Rp 10 miliar dan terakhir justru rugi Rp 782 miliar.
FWA Semakin Terjepit
Kondisi FWA
bakal semakin terjepit, paling tidak karena tiga alasan berikut. Pertama, tarif
FWA tidak menjadi unggulan lagi. Mobilitas FWA telah dikompensasi oleh tarif
murah bahkan mendekati tarif telepon rumah. Keunggulan inilah yang menjadi
senjata FWA menggaet pelanggan. Seiring ketatnya kompetisi seluler, tarif FWA saat
ini relatif sama dengan seluler atau GSM. Jadi, tarif tidak mungkin lagi
menjadi andalan FWA.
Kedua, BHP
berbasis pita. Mengacu Permen No.1/2010, pemerintah mulai menerapkan BHP
berbasis pita. "Salah satu dampak BHP pita, tidak ada bedanya lagi antara
operator FWA dan seluler dari sisi kewajiban," kata anggota BRTI M. Ridwan
Effendi kepada media (31/3/11). Jika kelak operator FWA dibebani kewajiban yang
sama, tentu rugi jika tetap menjalankan mobilitas terbatas, karena kompetisi
dengan seluler menjadi tidak seimbang.
Ketiga, roadmap
teknologi terputus. Teknologi paling populer yang menjadi kandidat 4G adalah
LTE dan WiMAX. Basis teknologi LTE adalah GSM sedangkan basis WiMAX adalah Wi-Fi.
Roadmap CDMA harus memilih satu dari keduanya. LTE menjadi pilihan terdekat,
karena LTE bakal menjadi teknologi 4G paling banyak di adopsi secara global.
Jika demikian, operator CDMA kembali kalah satu langkah dari seluler, karena
evolusi CDMA menuju LTE tentu lebih berat dibanding evolusi GSM.
Mencari Jalan Keluar
Operator FWA
harus secepatnya membuat keputusan. Semakin lambat menemukan jalan keluar,
semakin parah kondisinya, karena teknologi seluler berubah sangat cepat.
SmartFren tidak punya masalah berarti, karena disamping jumlah pelanggan FWA
relatif sedikit, teknologi CDMA yang dimiliki juga digunakan untuk layanan
seluler.
Jumlah pelanggan
FWA Indosat relatif kecil, dan mereka juga kesulitan memanfaatkan teknologi
CDMA yang dimiliki. Indosat tidak mungkin membiarkan FWA berjalan begitu saja,
karena tidak lama lagi bakal dibebani kewajiban BHP berbasis pita yang cukup
mahal. Pilihan bagi Indosat adalah menjual FWA atau menjadikan CDMA sebagai
jaringan lokal tetap atau telepon rumah.
Bakrie Telecom
telah mengantisipasi kesulitan FWA, sehingga tahun lalu telah mengajukan dan
memperoleh lisensi seluler. Namun demikian sejauh ini mereka belum mengumumkan
rencana jangka panjang terhadap pelanggan Esia, roadmap CDMA maupun pemanfaatan
lisensi selulernya.
Bagaimana dengan
Flexi? Telkom belum mengumumkan rencana jangka panjang Flexi. Bahkan Telkom
terkesan ragu-ragu mengambil keputusan, tercermin dari investasi teknologi
EV-DO yang relatif terlambat. Sangat beresiko jika Flexi terus dijalankan
seperti saat ini, karena Flexi tidak lagi memiliki keunggulan tarif, harus
membayar biaya BHP yang tinggi dan menghadapi kesulitan evolusi teknologi serta
dukungan vendor. Beberapa alternatif yang bisa dipilih antara lain: konsolidasi
Flexi dengan seluler Telkomsel; memperkuat posisi Flexi melalui merger dengan
Esia sekaligus akuisisi StarOne.
Sejatinya Flexi,
Esia dan StarOne memiliki masalah yang relatif sama. Disamping tiga alasan di
atas, ketiganya juga memiliki posisi pasar yang lemah. Pangsa pasar ketiganya
tidak lebih dari 11 persen. Dengan pertimbangan skala ekonomi, merger ketiga
FWA ini menjadi layak untuk dipertimbangkan. Jumlah pelanggan ketiganya
mencapai 29 juta, berada di posisi keempat setelah Telkomsel, Indosat dan XL
Axiata. Dengan merger, posisi di pasar semakin kuat dan selanjutnya bisa
merencanakan evolusi menuju LTE, seperti halnya operator CDMA di Korea Selatan
dan banyak negara lain.
Isu merger Flexi
dan Esia sempat mencuat pada 2010 lalu. Isu tersebut kandas antara lain karena
isu persaingan tidak sehat atau monopoli. Dengan perkembangan terakhir seperti
di atas, isu monopoli dan persaingan tidak sehat menjadi tidak relevan lagi.
Pemerintah justru perlu mendorong konsolidasi ketiga operator agar layanan FWA
tetap eksis bahkan menjadi komplemen dari layanan seluler yang sudah dominan di
pasar.
Dua alasan
berikut perlu mendapat catatan khusus bagi pemerintah. Pertama, bahwa industri
seluler sudah nyaris dikuasai asing, sedangkan operator FWA yaitu Telkom dan
Bakrie Telecom, masih dalam kendali penuh anak bangsa. Kedua, penyatuan
operator FWA memungkinkan penghematan kanal di frekuensi 800 MHz. hal ini tentu
sangat berarti ditengah kesulitan pemerintah mencari alokasi kanal baru.
Semoga
pemerintah dan operator FWA segera menemukan jalan keluar, sehingga layanan FWA
yang sudah sepuluh tahun dinikmati dapat terus berjaya di tengah kompetisi
seluler yang bakal semakin keras. Dan tentu Indonesia juga berharap, semoga
industri yang cantik gemulai ini secara perlahan dapat dikendalikan oleh
segenap anak bangsa, melalui operator FWA.
Komentar
Posting Komentar