[Versi e-Book dapat di download di sini: http://dl.dropbox.com/u/55331858/article/others/Fiqh_Zakat_distribusi_rev00.PDF ]
Menanggapi permasalahan zakat,
kalangan sarjana ekonomi dan sosialogi berpendapat, bahwa yang terpenting
bukanlah memungut dan memperoleh harta, namun kemana harta tersebut
didistribusikan. Setiap pemerintahan selalu memiliki berbagai cara untuk
memperoleh harta negara. Adakalanya menerapkan sistim upeti, sistim pajak,
penghasilan usaha negara dan sebagainya. Cara-cara perolehan harta selalu
memperoleh perhatian utama dan menghabiskan sumber daya yang sangat besar. Namun
demikian, bagaimana harta tersebut akan didistribusikan dan bagaimana harta
dimanfaatkan untuk mewujudkan kemakmuran dan jaminan hidup layak bagi sekalian
rakyatnya selalu menjadi realitas yang sulit didapati. Barangkali, berawal dari
perhatian Islam yang sangat besar terhadap golongan lemah dan antara lain
alasan di atas, Al-Quran memberi penekanan khusus terhadap cara-cara distribusi
harta zakat. Maka sudah seharusnyalah, muzakki atau pengelola zakat memberi
perhatian yang serius kepada cara-cara distribusi zakat dan yang lebih penting
lagi adalah obyek-obyek penerima zakat itu sendiri.
Perhatian Al-Quran terhadap
distribusi zakat disampaikan sebagai berikut. “sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (QS 9:60). Perhatian yang lebih dalam juga disampaikan
Rosulullah saw. dalam hadist yang disampaikan oleh Ziad Ibnu-Harits berikut.
“Aku telah menemui Rosulullah saw lalu aku membai`atnya. Ia menyebutkan sebuah
hadist panjang. Ketika itu datang seorang laki-laki yang mengatakan :”Berilah
aku sedekah!” maka Rosulullah saw berkata kepada orang itu :”Allah tidak
menyukai ketentuan Nabi atau orang lain mengenai sedekah, selain ketentuanNya
sendiri. Maka sedekah itu dibagi ke dalam delapan bagian. Kalau engkau termasuk
ke dalam bagian itu, kuberikan hakmu” (HR Abu Daud, dari Ziad Ibnu-Harits
ash-Shuda`i).
Terlihat dari hadist tersebut,
bahwa Rosulullah saw. sangat tegas dalam penerapan konsep delapan asnaf, maka
seharusnya kita pun tegas dalam hal tersebut. Hal ini disampaikan berkaitan
dengan adanya beberapa pendapat yang bermaksud meluaskan makna delapan asnaf
sampai batas yang sangat luas. Pada umumnya para ulama yang menganjurkan
perluasan makna delapan asnaf berasumsi bahwa zakat memiliki kekuatan yang
sangat besar, bahkan mampu menjadi sumber dana utama bagi negara. Perlu kiranya
kami kemukakan pendapat Jalaluddin Rahman[i]
yang menuliskan sebagai berikut. “zakat senantiasa dinyatakan sebagai ajaran
Islam yang bisa menyelesaikan keruwetan ekonomi ummat. Boleh jadi, pandangan
ini amatlah memberi harapan yang terlalu besar dan berat kepada zakat. Ternyata
beban zakat ini boleh dibilang belum pernah terwujud nyata sejak zaman Nabi dan
seterusnya dimasa para khalifah, pembiayaan negara tidak hanya diambilkan dari
zakat sebab masih ada yang lain seperti ghanimah, fay` wakaf, sedekah, dan
pajak. Ini berarti bahwa zakat hanyalah salah satu sumber pendapatan di dalam
pemerintahan yang pernah ada dalam dunia Islam sehingga tidaklah dapat diserahi
tugas sepenuhnya mengatasi problem ekonomi umat”. Pendapat serupa juga telah
disampaikan dengan penjelasan yang sangat panjang oleh Yusuf Qardawi[ii].
Namun demikian reaktualisasi makna harus tetap dilakukan untuk memastikan
ketersambungan antara hukum dengan realitas yang ada sekarang, sebagaimana
disampaikan oleh Safwan Idris[iii].
Berikut disajikan penjelasan mengenai delapan asnaf sebagaimana disebutkan
dalam surat At-Taubah ayat 60.
Fakir Miskin
Fakir adalah orang yang tidak
mempunyai mata pencaharian tetap yang dapat memenuhi hajat hidup diri dan
kelaurganya pada batas minimal, sedangkan miskin adalah orang yang memiliki
mata pencaharian tetap, tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan diri dan
keluarganya pada batas minimal[iv].
Muhammad Jawad Mughniyah[v]
menyampaikan bahwa Imamiyah, Hanafi dan Maliki berpendapat orang miskin adalah
orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang fakir. Sedangkan Imam
Hambali dan Syafi`i berpendapat bahwa orang fakir adalah orang yang keadaan
ekonominya lebih buruk dari pada orang miskin, karena yang dinamakan fakir
adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu, atau orang yang tidak mempunyai
separuh dari kebutuhannya, sedangkan orang miskin ialah orang yang memiliki
separuh dari kebutuhannya. Yusuf Qardawi
menggarisbawahi, bahwa fakir miskin adalah salah satu dari tiga golongan
berikut[vi].
1.
Mereka yang tidak mempunyai harta dan usaha sama sekali
2.
Mereka yang mempunyai harta atau usaha, tapi tidak
mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, yaitu separo atau kurang dari
kebutuhannya.
3.
Mereka yang mempunyai harta atau usaha yang hanya dapat
mencukupi separo atau lebih kebutuhannya untuk diri dan keluarganya, tapi tidak
untuk seluruh kebutuhan.
Berapakah nilai untuk kebutuhan
standar?. Beberapa ulama, diantaranya Imam Syafii dan Maliki seperti dikutip
Imam Khattabi[vii]
menyatakan bahwa “tidak ada batasan yang jelas tentang siapa yang disebut kaya.
Seseorang disebut kaya atau miskin diukur dari lapang atau sempitnya hidup.
Bila ia berkecukupan, maka haram baginya zakat, tapi kalau ia masih dalam
kebutuhan, halal baginya mendapat sedekah”. Pendapat ini sangat kuat bahkan
didukung oleh Firman Allah swt dalam Al-Quran Al-Karim : “wahai manusia, kamu
semua adalah orang-orang fakir di hadapan Allah”, artinya orang-orang yang
sangat membutuhkan kapada Allah swt. Dengan demikian, setiap ada kebutuhan,
maka di dalamnya terdapat kefakiran, tidak terbatas pada seberapa nilai yang
telah terpenuhi. Orang yang telah berlimpah harta bisa saja fakir, karena masih
membutuhkan lebih banyak lagi. Sementara orang dengan harta yang sangat sedikit
bisa saja kaya, karena telah tercukupi semua kebutuhannya. Penegasan telah
disampaikan oleh sebagian ulama yang lain, diantaranya Imam Hanafi[viii]
menyatakan bahwa “orang yang mempunyai harta sampai nishab maka ia wajib zakat.
Orang yang wajib zakat berarti ia tidak wajib menerima zakat”.
Kedua pendapat tersebut tidak
sepatutnya dipertentangkan, karena kita dapat mengambil salah satunya untuk
suatu kontek yang sesuai. Pada jaman sekarang ini, dimana setiap orang
cenderung untuk menumpuk-numpuk harta, kejujuran pribadi semakin sulit untuk
diperoleh, sementara lembaga amil dituntut untuk menentukan secara tegas, adil
dan bijaksana terhadap kelompok fakir dan miskin, maka pendapat Imam Hanafi
lebih tepat untuk dilaksanakan. Sehingga kita memiliki kriteria yang tegas,
jelas dan transparan bahwa batas antara fakir miskin dan orang kaya adalah
nishab[ix].
Fakir miskin adalah mereka yang memiliki harta kurang dari nishab sedangkan
orang kaya adalah mereka yang memiliki harta senishab atau lebih.
Berbagai jenis fakir miskin
Orang yang memiliki tempat
tinggat layak, namun memiliki harta kurang dari nishab, maka dia termasuk dalam
katagori fakir miskin. Namun bilamana tempat tinggalnya tergolong mewah dan
dapat dijual dimana sebagiannya untuk memenuhi kebutuhan atau nishab, maka
tidak termasuk fakir miskin. Demikian juga dengan harta-harta tetap lainnya.
Imam Syafii dan Hambali berpendapat bahwa orang yang mampu berusaha secara
layak dan dapat memenuhi diri dan keluarganya tidak boleh menerima zakat. Usaha
tersebut adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut[x].
1.
Ia memperoleh pekerjaan yang dapat dijadikan sumber
usahanya
2.
Pekerjaan yang diperoleh adalah halal menurut hukum,
karena pekerjaan yang dilarang hukum syara` sama dengan tidak mempunyai
pekerjaan
3.
Orang itu mampu bekerja dan pekerjaan itu tidak
melebihi kemampuannya
4.
Hendaknya pekerjaan itu sesuai dengan kedudukan dan
kehormatannya dalam masyarakat
5.
Pekerjaan itu dapat mencukupi kebutuhan, dan juga orang
yang menjadi tanggungannya.
Lebih jauh Yusuf Qardawi
menyatakan bahwa orang yang mengkhususkan diri beribadah (zuhud) tidak boleh
menerima zakat, sementara orang yang mencari ilmu, dimana ilmunya bermanfaat
untuk kemaslahatan ummat berhak untuk menerima zakat. Fakir miskin yang
menyembunyikan kemiskinannya labih berhak atas zakat dari pada mereka yang
meminta-minta.
Jumlah pemberian
Para ulama berbeda pendapat
mengenai berapa jumlah yang harus diberikan kepada fakir miskin. Secara garis
besar perbedaan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Yang pertama, berpendapat bahwa fakir miskin
diberi zakat secukupnya, tidak ditentukan besarnya harta zakat. Terdapat dua
pendapat mengenai arti secukupnya, yaitu untuk mencukupi selama hidup dan untuk
mencukupi kehidupan setahun. Pendapat pertama antara lain disampaikan oleh Imam
Syafii, sedangkan pendapat kedua antara lain disampaikan oleh Imam Maliki,
Hambali dan al-Ghazali. Kedua,
berpendapat bahwa fakir miskin itu diberi dalam jumlah tertentu dan besar
kecilnya disesuaikan dengan bagian mustahik lain. Pendapat ini antara lain
disampaikan oleh Imam Hanafi.
Kiranya semua pendapat di atas
dapat dipedomani sesuai dengan kontek yang kita hadapi saat ini sebagai
berikut.
1.
Bilamana si miskin sanggup bekerja dan mencari nafkah
seperti tukang, pedagang, petani dan sebagainya, namun hasil yang diperolehnya
kurang memenuhi kebutuhan, maka pemberian zakat diarahkan untuk menambah modal,
sehingga hasil kerjanya dapat membuahkan penghasilan yang dapat memenuhi
kebutuhan untuk selama hidupnya. Dengan demikian, di lain waktu dia tidak perlu
lagi menerima zakat, bahkan dia akan membayar zakat.
2.
Bilamana si miskin tidak mampu mencari nafkah seperti
lumpuh, orang buta, orang tua, janda dan sebagainya, maka pemberian zakat
dilakukan untuk mencukupi kebutuhannya dalam setahun. Dengan berbagai
pertimbangan, pemberian zakat dapat juga diberikan secara rutin bulanan,
diberikan secara terus menerus.
3.
Seperti halnya telah disampaikan di atas, untuk
menjawab berapa nilai standar untuk mencukupi kebutuhan, maka cara yang lebih
tepat untuk sekarang ini adalah menggunakan nilai nishab sebagaimana pendapat
Imam Hanafi.
Program Fakir Miskin
Program distribusi zakat saat ini tentu saja lebih
komplek dari jaman Rosulullah saw. ataupun jaman-jaman selanjutnya, karena
struktur masyarakat saat ini telah begitu komplek. Sehingga distribusi zakat
tidak bisa lagi sekedar penyerahan harta zakat secara langsung kepada para
asnaf yang berhak, namun harus disusun program yang komprehensif, sehingga
menjamin efektifitas, keadilan dan transparansi zakat.
Seperti dijelaskan di atas, terdapat dua golongan
fakir miskin, yaitu mereka yang sanggup bekerja mencari nafkah dan mereka yang
tidak berusaha. Untuk itu program zakat untuk fakir miskin pun harus dibedakan
minimal untuk dua golongan tersebut. Program zakat untuk golongan fakir miskin
yang masih mampu berusaha antara lain.
1. Memberi modal yang mendukung
usaha atau keahliannya, sehingga usaha atau keahlian tersebut mencapai
penghasilan yang memenuhi kehidupan minimal bagi diri dan tanggungannya.
2. Membuka lapangan kerja
dengan misi utama menyediakan pekerjaan bagi para fakir miskin.
3. Menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan untuk membantu fakir miskin dalam mendapatkan pekerjaan atau
meningkatkan produktifitas kerja.
4. Menyediakan lembaga
konsultasi usaha untuk meningkatkan kemampuan manajerial fakir miskin.
Sedangkan untuk fakir miskin yang tidak mampu
berusaha seperti janda, orang tua dan lainnya, mereka berhak menerima zakat
setiap tahun atau setiap bulan sampai terpenuhinya kebutuhan hidup minimal diri
dan keluarganya. Program lain bisa berupa
penyediaan tempat penampungan jompo, penyediaan sarana kesehatan dan
sebagainya.
Bersambung bagian 2
Komentar
Posting Komentar