Pukul 08.00 (26/01) saya masuk ke ruang boarding di bandara Soetta. Waktuku cukup banyak karena jadwal terbang pukul 09.25. Sambil menikmati waktu santai, saya buka komputer untuk akses email dan socmed. Saya coba hidupkan wifi, klik. . .saya temukan @wifi.id tanpa password alias free. "Bagus nih" saya sumringah sambil pencet tombol connect.
Ternyata muncul landing-page dengan address https://welcome.telkomhotspot.info/telkomhs/freemax/ . Saya diminta daftar untuk menikmati fitur gratis persembahan Telkom ini. "it's fine for free, fair" Pikir saya dalam hati. Saya isi semua form dan klik register.
Oopss, muncul pesan "The server failed to communicate. Please try again later". Saya tunggu beberapa menit dan kucoba lagi. Oopss, sama. Kucoba lagi, kucoba lagi hingga empat kali. Hasilnya sama. Sebagai anggota geng netizen, insting saya langsung bergumam "dasar telkom!".
Karena kesal nggak bisa konek socmed, saya mencari-cari kesalahan Telkom yang lain. Dapat! Speedy Home Monitoring (SHM). Begini kisahnya. Tahun baru kemarin saya liburan tiga hari bersama keluarga. Rumah kosong, jadi saya pastikan SHM hidup. Malam pertama di hotel saya coba akses SHM pakai smartphone untuk melihat kondisi rumah. Gagal, coba lagi gagal, coba lagi gagal, bolak-balik gagal, frustasi! Malam kedua saya coba lagi pakai smartphone, masih gagal. Saya pasrah. SHM yang saya andalkan selama liburan tidak bermanfaat, padahal Speedy di rumah sudah diupgrade kecepatannya menjadi 1 Meg.
Tidak puas dengan dua kasus tersebut, terpikir lagi kasus tagihan Speedy tiga bulan terakhir. Sebelumya tagihan Speedy di rumah konstan sebesar Rp 125 ribu (perkiraan, angka tepatnya lupa). Tiba-tiba bulan November lalu naik sekitar Rp 170 ribu. Saya coba tanyakan ke 147, jawabannya karena tambahan fitur. Saya yakin ini adalah kesalahan, karena saya tidak minta fitur. Tapi okelah, toh saya digaji Telkom. Bulan Desember tagihan saya naik lagi menjadi sekitar Rp 230 ribu. 147 menjelaskan, saya mengikuti program upgrade kecepatan. Okelah, saya terima lagi, toh Rp 230 masih affordable dibanding gaji saya yang sangat bagus. Uniknya bulan Januari tagihan saya berubah menjadi Rp 80 ribu! "Wow, Telkom memang hebat. Pasti pegawai billingnya orang hebat pula" saya bergumam keheranan.
Sebagai kelompok netizen yang sehari-hari memegang Android dan berbagai socmed, tentu pengalaman tersebut sangat mengherankan. Maklum saja, pengalaman Android begitu mempesona, gratis pula. Demikian juga Google dan socmed lainnya memberi pengalaman begitu mengesankan, gratis pula. Google menawarkan availability 100 persen, realibility nyaris 100 persen, kenyamanan melebihi harapan, dan semuanya gratis.
Begitulah dunia internet hari ini, dan begitu pula ekspektasi publik. Perusahaan yang tidak mampu memenuhi harapan publik, tunggulah masanya ditinggalkan. Bagaimana ekspektasi pelanggan terhadap Telkom, dan bagaimana pengalaman mereka menggunakan produk Telkom? Setidaknya kisah saya menjadi representasi sebagian pelanggan.
Kisah di atas cukup memberi bukti, bahwa Telkom kurang mampu menyiapkan dan memelihara produk dengan kualitas prima. Telkom kurang serius mengelola availability, reliability, apalagi customer experience terhadap produk.
Telkom justru fokus pada banyak hal yang tidak menjadi kebutuhan dasar pelanggan. Diskusi berputar-putar pada masalah target penjualan, pertumbuhan revenue dua digit, peluncuran produk baru dan sejenisnya. Seluruh karyawan sibuk, namun tidak ada yang berbicara dengan pelanggan. Jika ada pun hanya beberapa officer 6 dan staf di Plasa. Karena seluruh urusan pelanggan telah diambil alih oleh Infomedia, dealer, petugas jaringan dan banyak lagi outsourcing yang jumlahnya lebih dari 10 ribu orang.
Saya yakin jika hal ini disampaikan kepada internal Telkom, mereka akan berebut memberi bantahan, bahkan berebut untuk meyakinkan dengan data dari server, bahwa produk Telkom baik-baik saja. Perusahaan berada pada track yang benar. Mereka mungkin justru akan menunjuk saya sebagai seorang sceptism, pesimistis, dan tidak memberi solusi.
Sesekali waktu saya ingin berposisi sebagai pelanggan. Tidak ada maksud saya untuk mengeluh, apalagi mencacat dan ngeblem Telkom. Karena Telkom adalah penyokong ekonomi keluarga. Dan saya bangga karena Telkom adalah perusahaan telko terbaik di negeri ini. Tidak hanya di industri telko, Telkom bahkan menjadi yang terbaik di jajaran listed company.
Namun demikian, deretan kisah di atas memberi cukup keyakinan pada saya, bahwa Telkom harus berubah!
Markplus menawarkan Marketing 1.0, Marketing 2.0 dan terakhir Marketing 3.0. Marketing versi 1.0 fokus pada produk, versi 2.0 fokus kepada kebutuhan pelanggan dan versi 3.0 fokus kepada human spirit, mencakup antara lain spiritual and environment.
Para marketers Telkom sangat yakin dan bangga, bahwa dirinya telah masuk dalam versi 3.0. Apalagi best practice mereka telah di benchmark pula oleh jajaran Markplus.
Namun demikian, dari kisah di atas dan sejumlah wawancara saya dengan para CSR Plasa, saya meyakini Telkom telah lupa pada Marketing versi 1.0. Telkom terlalu asyik dengan advanced marketing, hingga lupa pada hal mendasar yang dibutuhkan pelanggan. Product performance, customer experience!
Semoga tulisan ini menjadi otokritik positif, dan menggerakkan seluruh karyawan untuk kembali berkumpul dan mendengarkan pelanggan, bukan konsultan. Dan bahu-membahu memperbaiki hal-hal mendasar yang dibutuhkan pelanggan, bukan atasan. Karena gaji kita berasal dari customer bukan management.
Komentar
Posting Komentar