Langsung ke konten utama

Kenapa Wartel Yang Hampir Punah Kini Berdemo

Hari Kamis 18 Maret 2010 yang lalu saya sedikit terkejut, gara-garanya saya lihat para senior dan sesepuh Wartel melakukan demo di sejumlah tempat di Jakarta, antara lain di Indosat, BRTI, XL Axiata, dan Telkom. Saya lebih terkejut lagi, karena ternyata aksi mereka diekspos oleh banyak media masa nasional, seperti Bisnis Indonesia dan Koran Tempo, Koran Jakarta. Bahkan DetikInet.com merelease berita mereka pada 8 artikel yang berbeda. Tentu cukup surprise bagi saya untuk ukuran aksi para senior.

Tidak sekedar surprise, saya juga menaruh sikap simpati. Pasalnya, posisi pengusaha Wartel saat ini boleh di kata sekarat, karena bisnis yang selama ini telah memberi keuntungan manis tersebut, kini posisinya hampir punah. Bisnis Wartel mengalami masa jaya pada tahun 1996-2002. Jumlah pengusaha Wartel pada saat itu mencapai lebih dari 150 ribu di seluruh Nusantara. Omset mereka pada saat itu mencapai lebih dari 300 miliar per bulan, namun akhir tahun 2003 tinggal 260 miliar, akhir 2004 tinggal 190 miliar, akhir 2005 tinggal 130 miliar, akhir 2006 tinggal 90 miliar, akhir 2007 tinggal 50 miliar, akhir 2008 tinggal 20 miliar dan akhir 2009 tinggal 8 miliar per bulan. Artinya, sejak tahun 2002, bisnis Wartel turun fastastis dari minus 13 sampai 60 persen, dengan rata-rata minus 38 persen. Angka 8 miliar pada akhir 2009 tersebut lebih banyak dikontribusi oleh Wartel-wartel komunitas seperti Pondok Pesantren, tempat penampungan TKI, Lembaga Pemasyarakatan, dan yang sejenisnya, sedangkan Wartel yang berada di pemukiman penduduk praktis bisa disebut punah.

Kenapa Wartel nyaris punah? Semua orang bisa menjawabnya. Memang banyak sebab kemusnahan Wartel, namun yang utama karena penetrasi seluler yang luar biasa, mampu menjangkau seluruh segmen masyarakat, plus tarifnya yang mengalahkan Wartel. Bisnis Wartel memang mirip Pager dan AMPS yang kian lama harus menerima kenyataan, karena kebutuhan masyarakat telah bergeser. Tidak ada jalan bagi para pengusahanya, kecuali berinovasi menjual layanan baru yang dibutuhkan masyarakat.

Lalu kenapa mereka berdemo? Aksi demo Wartel yang dimotori oleh Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) tersebut tidak punya kaitan langsung dengan kenyataan turunnya bisnis Wartel, namun seperti dinyatakan oleh mereka, disebabkan masalah Airtime.

Kisahnya berawal dari terbitnya Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM. 46 Tahun 2002 tentang Penyelengaraan Warung Telekomunikasi. Pada Pasal 15 disebutkan “ Penyelenggara Wartel berhak mendapatkan bagian pendapatan dari tarif dasar Wartel yang berlaku dari penyelenggara jaringan telekomunikasi.” lebih lanjut Pasal 16 ayat (1) disebutkan “Pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 berasal dari tarif dasar Wartel yang terdiri dari:...butir c. Airtime dari penyelenggara jaringan bergerak seluler sekurang-kurangnya sebesar 10%”. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan “Pendapatan dari harga Airtime sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilaksanakan setelah adanya kesepakatan antara penyelenggara jaringan tetap lokal dengan penyelenggara jaringan bergerak seluler.”

Substansi dan semangat KM.46/2002 tersebut sebetulnya ingin memberi keuntungan yang lebih baik kepada para pengusaha Wartel, yang notabene adalah pengusaha kecil. Sangat disayangkan, ternyata KM tersebut tidak ditindaklanjuti dengan Peraturan di bawahnya. KM tersebut seharusnya di jabarkan oleh kebijakan teknis di level bawahnya, paling tidak mekanisme atau cara pembayaran hak Airtime tersebut dari penyelenggara jaringan bergerak seluler (Operator Seluler - Opsel) kepada pengusaha Wartel. Sebagaimana disebutkan pada ayat (2) di atas, seharusnya penyelenggara jaringan tetap lokal (Operator Lokal) melaksanakan kesepakatan dengan Opsel, khususnya teknis perhitungan dan pembayaran hak Airtime, karena tagihan Wartel di kumpulkan oleh Operator Lokal, sementara hak Airtime diperoleh Wartel dari Opsel.

Karena dua hal tersebut tidak terwujud, seluruh pendapatan Airtime diserahkan oleh Wartel kepada Operator Lokal, selanjutnya Operator Lokal meneruskan kepada Opsel. Sehingga hak Airtime 10% yang seharusnya diterima Wartel tidak kunjung dinikmati. Karena hal inilah, kasus Airtime mencuat.

Kasus Airtime pertama kali muncul pada tahun 2004, dipelopori dan diwakili oleh APWI, para pengusaha Wartel menuntut hak Airtime sebesar 10% sesuai KM.46/2002. Tuntutan APWI berjalan cukup lancar, sampai akhirnya ditetapkan gugus tugas untuk penyelesaian masalah Airtime melalui SK Ketua BRTI nomor 148/BRTI/2004 tanggal 16 Desember 2004 dan SK Dirjen Postel nomor 06/DIRJEN/2005 tanggal 28 Januari 2005. Setelah melalui pekerjaan yang cukup berat dan melelahkan, dan tentu saja diwarnai perbedaan pendapat dan perdebatan, akhirnya pada tahun 2005 APWI menerima dana hak Airtime dari para Opsel total senilai 120 miliar rupiah. Dana tersebut adalah hak Airtime untuk periode Agustus 2002 sampai dengan Maret 2005. APWI menunjuk PT POS untuk mendistribusikan dana tersebut kepada para pengusaha Wartel di seluruh Nusantara, disamping itu APWI juga diminta menunjuk audit independen untuk menilai pertanggungjawaban mereka dalam distribusi dana.

Diterimanya dana sebesar 120 miliar rupiah oleh APWI tidak serta merta urusan Airtime selesai. Banyak pihak, antara lain Asosiasi Warung Telekomunikasi Indonesia (AWTI), mempertanyakan keabsahan APWI, termasuk mempertanyakan kualitas distribusinya. Beberapa kalangan menuduh, dana tersebut tidak terdistribusi sebagaimana mestinya, dan akhirnya mereka membawa permasalahan tersebut ke ranah pengadilan. Meskipun kasus ini akhirnya selesai, namun semua pihak yang terkait sempat dibuat jera, karena mereka telah dibuat capek menghadapi kesaksian dan dakwaan pengadilan.

Belajar dari pengalaman pencairan dana Airtime yang sangat melelahkan, akhirnya semua pihak sepakat untuk merevisi KM.46/2002 secepat-cepatnya. Upaya untuk merevisi KM.46/2002 telah dilaksanakan dengan serius oleh Tim Dirjen Postel dan BRTI, meskipun akhirnya kebijakan itu baru ditetapkan pada tahun berikutnya, yaitu PM.05/PER/M.KOMINFO/I/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi. Kebijakan ini menghapus KM.46/2002 sekaligus tidak lagi mencantumkan hak Airtime bagi para pengusaha Wartel.

Terbitnya PM.05/2006 pada Januari 2006 telah menimbulkan isu baru, yaitu terkait hak Airtime setelah periode Maret 2005. Isu tersebut diangkat kembali oleh APWI untuk memperoleh hak Airtime tahap 2. Mulailah APWI melayangkan tuntutannya pada pertengahan tahun 2007. Tuntutan dana Airtime tahap 2 tidak semudah tahap sebelumnya. Paling tidak ada 3 sebab.

Pertama, traumatik pada pencairan dana Airtime tahap 1, dimana pihak-pihak yang telah mengeluarkan dana cukup besar justru dibikin deg-degan oleh lembaga peradilan. Oleh karenanya wajar, jika pada proses tahap 2 ini semua pihak yang terkait berusaha mencari payung yang berlapis, agar keputusan yang mereka ambil dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Sikap hati-hati yang berlebihan ini tidak hanya merasuki para Opsel dan Operator Lokal, namun juga terjadi pada jajaran regulasi, yaitu Direktorat Jendral Postel dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Alhasil, mekanisme penyelesaian dana Airtime tahap 1 tidak bisa dilaksanakan pada tahap 2, dan celakanya, kesepakatan mekanisme tahap 2 tidak mudah disepakati oleh semua pihak.

Kedua, tentang distribusi. Distribusi dana Airtime tahap 1 meninggalkan banyak kritik dari banyak pihak. Terlepas dari valid tidaknya kritik tersebut, namun setidaknya telah menjadi warning bagi seluruh pihak yang terkait untuk lebih berhati-hati dan tidak melaksanakan kesalahan yang sama.

Ketiga, tentang periode. Beberapa Opsel berpandangan bahwa pembayaran Airtime tahap 1 bersifat final, tidak ada lagi pembayaran lanjutan. Mengenai kelambatan PM.05/2006 mereka beranggapan tidak bisa dengan serta merta Opsel menanggung resikonya. Sebagian pihak lainnya berpendapat bahwa periode Airtime tahap 2 mulai dari April 2005 sampai dengan ditetapkannya PM.05/2006, yaitu Januari 2006. Sementara APWI bersikeras bahwa periode Airtime tahap 2 adalah April 2005 sampai dengan Januari 2007. Pendangan APWI mengacu kepada PM.05/2006 Pasal 22 tentang Ketentuan Peralihan, dimana PKS Wartel dapat direvisi selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah PM tersebut. APWI juga berargumentasi, bahwa tagihan yang mereka terima dari Operator Lokal masih mencantumkan kalimat Airtime sampai Januari 2007.

Meskipun APWI telah berusaha keras mengikuti seluruh proses dan persyaratan yang diinginkan pihak-pihak terkait, namun sampai saat ini proses penyelesaian Airtime tahap 2 masih menghadapi jalan terjal. APWI menginginkan periode sampai Januari 2007, sedangkan Opsel berargumentasi hanya sampai Januari 2006. Sementara Dirjen Postel dan BRTI yang diharapkan dapat menjadi penengah, justru ambil jarak dalam pertikaian ini, dan cenderung menyarankan penyelesaian secara business-to-business. Ketegangan tidak bisa dihindari, akhirnya pada tanggal 17 Februari 2010 APWI melayangkan somasi kepada Opsel. Menanggapi somasi tersebut, para Opsel justru merapatkan barisan dan secara kolektif menunjuk kuasa hukum untuk mewakili mereka dalam proses hukum yang mungkin terjadi. Dan benar saja, kuasa hukum Opsel menantang APWI untuk membawa proses penyelesaian Airtime kepada Badan Arbitrase (BANI). Menyikapi perkembangan yang kurang positif ini, APWI membuat keputusan untuk menggelar demo, seperti telah kita saksikan tanggal 18 Maret 2010 lalu.

Sungguh proses penyelesaian dana Airtime tahap 2 ini melelahkan. Bayangkan saja, APWI telah cukup sabar mengikuti proses ini selama lebih dari 33 bulan, namun belum terlihat jalan keluar yang diharapkan. Bahkan, seandainya saja masalah periode ini bisa disepakati semua pihak, APWI masih harus menghadapi beberapa pekerjaan besar lagi, antara lain proses rating dan splitting, mekanisme pembayaran dari Opsel kepada APWI, mekanisme distribusi dana dari APWI kepada para pengusaha Wartel, kebenaran data pengusaha Wartel, dan tentu saja laporan pertanggungjawaban yang harus diserahkan kepada audit independen yang ditunjuk. Dan yang terakhir, tentu saja tidak kalah serunya, adalah menghadapi pihak-pihak yang keberatan dan tidak puas dengan APWI.

Proses rating dan splitting adalah proses penghitungan jumlah total dana Airtime, jumlah kewajiban masing-masing Opsel, dan jumlah hak masing-masing pengusaha Wartel. Mekanisme pembayaran dari Opsel kepada APWI bisa saja cash lunas atau cicilan beberapa termin waktu. Pembayaran bisa saja ditransfer langsung kepada rekening APWI, bisa juga di tampung di rekening atas nama bersama. Distribusi dana kepada para pengusaha Wartel dapat saja dilaksanakan langsung oleh APWI, namun bisa juga dilakukan oleh pihak eksternal dalam pengendalian dan pengawasan bersama. Tentang pengusaha Wartel yang berhak, bisa saja keseluruhan pengusaha Wartel atau bisa juga hanya pengusaha yang telah menunjuk APWI melalui Berita Acara bermaterai. Berbicara tentang kriteria pengusaha Wartel juga menjadi semakin sulit, karena realitas di lapangan menunjukkan jumlah Wartel yang sudah tutup usaha lebih dari separo. Pilihan-pilihan keputusan ini berdampak signifikan, bahkan mengandung konsekuensi hukum, sehingga dapat dipastikan, pengambilan setiap keputusan di atas memerlukan upaya negosiasi yang berat dan mungkin waktu yang panjang.

Selamat kepada APWI yang tabah menjalani setengah proses penyelesaian dana Airtime selama 33 bulan, semoga setengahnya lagi dapat ditempuh dengan penuh kesabaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 360 Leader - John C Maxwell

Hampir semua pemimpin memiliki pimpinan yang lebih tinggi. Bolehlah dibilang, tidak ada pemimpin yang tidak memiliki pemimpin diatasnya. Karenanya, buku The 360 Leader karangan John C. Maxwell ini sejatinya adalah untuk semua pemimpin, bukan hanya untuk para manajer yang selalu berada di bawah para pemilik perusahaan. Pun demikian, penjelasan buku ini memang lebih difokuskan kepada para manajer, senior manajer dan para pemimpin sejenis dalam perusahaan yang berada di bawah kepemimpinan orang-orang di atasnya. Buku setebal 400 halaman ini mengawali penjelasanya dengan 7 mitos tentang memimpin dari bagian tengah. Berikutnya menjelaskan tantangan yang dihadapi pemimpin 360 Derajat. Pada bagian ketiga dijelaskan bagaimana memimpin ke atas. Bagian keempat dan kelima menjelaskan praktik memimpin ke samping dan ke bawah. Pada bagian akhir dijelaskan nilai-nilai pemimpin 360 Derajat. Prinsip utama dari kepemimpinan 360 derajat adalah bahwa pemimpin bukanlah posisi, melainkan pe

Liburan Keluarga di Kuala Lumpur

Masjid Putra Kunjungan Kuala Lumpur kali ini merupakan yang ke sekian kalinya, tapi menjadi yang pertama kali untuk liburan keluarga. Liburan keluarga selalu mendapatkan pengalaman yang berbeda dibandingkan liburan bersama teman kantor, apalagi jika dibandingkan dengan perjalanan dinas. Seperti biasanya, kami memilih untuk ''berjalan sendiri", tanpa bantuan agen travel atau pun guide lokal. Otomatis, saya akan menjadi EO sekaligus guide-nya. Kami sudah pesan tiket jauh hari, agar keluarga merasa nyaman dan tentu saja agar harga tiket lebih miring. Kami mendapat tiket Malaysia Airline PP sekitar 1,7 juta rupiah, karena berdekatan dengan liburan Natal. Jika waktu kunjungan jauh dari liburan bersama, mungkin bisa mendapatkan tiket lebih hemat. Untuk akomodasi, kami pilih tengah kota, agar mudah jalan kaki kemana pun, dan tentu saja dekat dengan Petronas Twin Tower. Tidak usah kawatir harga mahal, buktinya saya mendapatkan hotel butik yang sangat nyaman, denga

Empat Komponen Manusia

Banyak referensi tentang kehidupan manusia telah saya pelajari, khususnya dari buku-buku tasawuf. Sejauh ini saya pahami bahwa manusia memiliki tiga komponen yang tidak terpisahkan, yaitu fisik, akal dan ruh. Alhamdulillah, pada renungan saya di segmen terakhir bulan ramadhan 1432 H ini, terbuka pemahaman baru mengenai komponen pembentuk manusia. Tentu saya meyakini kebenaran pemahaman ini, tapi bagaimana pun saya tetap membuka kemungkinan adanya pemahaman yang lebih baik. Manusia terbentuk dari empat bagian atau komponen yang tidak terpisahkan, yaitu: Pertama, Fisik atau jasad. Inilah bagian paling mudah dikenali. Fisik merupakan komponen utama dari semua makhluk di bumi ini. Melalui fisik inilah keberadaan makhluk di bumi dapat dilihat, dirasa dan dikenali. Karena komponen fisik ada di seluruh makhluk bumi, baik makhluk hidup maupun mati, maka tingkatan fisik merupakan tingkatan terendah, setara dengan tingkatan tumbuhan, hewan, tanah dan seterusnya. Kedua, Nyawa at