Langsung ke konten utama

Childhood

Aku lahir di Getas Gebyur, sebuah dusun berjarak sekitar 6 km dari kota Pekalongan. Meskipun jarak ke Pekalongan lebih dekat, namun dusunku ini masuk ke wilayah administrasi Kabupaten Batang, tepatnya kecamatan Wonotunggal, desa Wates. Semasa kelahiranku, dusun ini sungguh-sungguh terbelakang, tanpa listrik, tanpa jalan aspal, apalagi telepon. Aku akrab sekali dengan dunia pertanian, main di sungai, di sawah, di kebun bahkan ikutan teman mengembala kerbau.

Aku jalani masa kecilku seperti teman-teman sebayaku yang lainnya. Namun, betapa baru aku sadari saat ini, betapa bahagianya aku saat itu, karena kenangan indah tersebut tidak bisa aku persembahkan kepada ketiga anakku yang lahir dan besar di kota besar. Ingin sekali aku mengajak mereka merasakan dan menapaktilasi kehidupan desa, namun sulit rasanya karena waktu dan rutinitas kami sekeluarga.

Ketika aku usia SD, orang tuaku membeli rumah di desa lain yang ralatif jauh lebih maju, namanya Pandansari, kecamatan Warungasem, Kabupaten Batang. Kami sekeluarga pindah ke rumah baru, meskipun pada hari libur kami selalu kembali ke dusun untuk tidur dan main dengan teman lama. Desa Pandansari belum ada listrik waktu itu, namun jalanan sudah relatif beraspal, dan kesejahteraan rata-rata warganya relatif baik. Apalagi banyak warga di situ yang sudah 'Jakarta-nan'.

Aku selesaikan SD-ku di Pandansari dengan prestasi terbaik, sehingga Kepala Sekolah menyarankan agar aku masuk sekolah di Kota Pekalongan. Sungguh hal ini diatas harapanku, karena belum ada alumni sekolahku yang berhasil masuk sekolah tersebut. Cita-citaku sebenarnya ingin masuk ke MTS di Masin atau SMP di Cepagan, atau pergi ke Pesantren seperti kebanyakan alumni sekolah, bahkan seperti kakakku sendiri. Tapi ternyata jalan Tuhan berbeda, jadilah aku masuk di SMPN 6 Pekalongan. Karena cita-citaku ke Pesantren, Ayahku menitipkan aku di rumah Saudaranya di Kota Pekalongan, dekat dengan pesantren Ribatul Muta'alimin, sehingga setiap siang dan malam aku mengikuti Madrasah seperti layaknya para santri, sedangkan di pagi hari aku sekolah di SMP N 6.

Karena kehidupanku yang lebih banyak kumpul dengan santri, sempat terpikir olehku meneruskan SMA di Pesantren Gontor Ngawi atau Tebuireng Jombang, sebagai Pesantren favorit waktu itu. Tapi ternyata kembali jalan Tuhan yang akhirnya ku jalani. Aku dapat menyelesaikan SMP-ku dengan prestasi terbaik, dan ayahku yang berasal dari desa sempat tertegun, karena diminta foto bersamaku dan para guru di hadapan para siswa yang hampir seluruhnya anak kota. Karena nilai raporku, guruku mengatakan bahwa aku bisa diterima di SMA N 1 Pekalongan, sekolah paling favorit di kota itu. Jadilah aku masuk di SMA N 1, dan semakin jauh citaku menjadi seorang santri.

Seperti layaknya teman yang lain, ketika masuk kelas 3 mereka sibuk mencari perguruan tinggi, mereka juga sibuk mengikuti kursus. Namun bagiku, tidak ada yang berbeda. Aku juga tidak pernah bingung dengan kuliahku, kujalani biasa saja. Sampai pada akhirnya di semester 2, aku diajak temanku ikut try-out gratis yang diselenggarakan oleh Lembaga Bimbingan belajar, kalo tidak salah Gama Exacta. Ternyata aku dapat peringkat 5 besar, dan aku ditawari masuk bimbingan gratis. Karena setiap minggu Mentor bimbingan mendorong aku untuk menentukan pilihan kuliah, jatuhlah pilihanku ke ITS Surabaya. Kuputuskan mendaftar UMPTN ke ITS dan UNS bersama temanku. Temanku yang lain, mengajakku iseng-iseng daftar ke STT Telkom. Puji syukur aku diterima di keduanya. Atas nasehat teman-temanku, terutama Broto dan Eddie akhirnya ku putuskan masuk di STT Telkom. Alhamdulillah tahun 1991 aku masuk STT Telkom dengan status ikatan Dinas dari PT Telkom.

Dapat kupahami kehidupanku sampai masa kuliahku, betul-betul berjalan apa adanya, tanpa target, tanpa arah. Namun dapat kujalani dengan penuh bahagia. Sekarang baru kusimpulkan, itulah Jalan Allah Swt. Puji Syukur untuk-Mu wahai Zat Yang Maha Pengasih dan pengatur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 360 Leader - John C Maxwell

Hampir semua pemimpin memiliki pimpinan yang lebih tinggi. Bolehlah dibilang, tidak ada pemimpin yang tidak memiliki pemimpin diatasnya. Karenanya, buku The 360 Leader karangan John C. Maxwell ini sejatinya adalah untuk semua pemimpin, bukan hanya untuk para manajer yang selalu berada di bawah para pemilik perusahaan. Pun demikian, penjelasan buku ini memang lebih difokuskan kepada para manajer, senior manajer dan para pemimpin sejenis dalam perusahaan yang berada di bawah kepemimpinan orang-orang di atasnya. Buku setebal 400 halaman ini mengawali penjelasanya dengan 7 mitos tentang memimpin dari bagian tengah. Berikutnya menjelaskan tantangan yang dihadapi pemimpin 360 Derajat. Pada bagian ketiga dijelaskan bagaimana memimpin ke atas. Bagian keempat dan kelima menjelaskan praktik memimpin ke samping dan ke bawah. Pada bagian akhir dijelaskan nilai-nilai pemimpin 360 Derajat. Prinsip utama dari kepemimpinan 360 derajat adalah bahwa pemimpin bukanlah posisi, melainkan pe

Liburan Keluarga di Kuala Lumpur

Masjid Putra Kunjungan Kuala Lumpur kali ini merupakan yang ke sekian kalinya, tapi menjadi yang pertama kali untuk liburan keluarga. Liburan keluarga selalu mendapatkan pengalaman yang berbeda dibandingkan liburan bersama teman kantor, apalagi jika dibandingkan dengan perjalanan dinas. Seperti biasanya, kami memilih untuk ''berjalan sendiri", tanpa bantuan agen travel atau pun guide lokal. Otomatis, saya akan menjadi EO sekaligus guide-nya. Kami sudah pesan tiket jauh hari, agar keluarga merasa nyaman dan tentu saja agar harga tiket lebih miring. Kami mendapat tiket Malaysia Airline PP sekitar 1,7 juta rupiah, karena berdekatan dengan liburan Natal. Jika waktu kunjungan jauh dari liburan bersama, mungkin bisa mendapatkan tiket lebih hemat. Untuk akomodasi, kami pilih tengah kota, agar mudah jalan kaki kemana pun, dan tentu saja dekat dengan Petronas Twin Tower. Tidak usah kawatir harga mahal, buktinya saya mendapatkan hotel butik yang sangat nyaman, denga

Empat Komponen Manusia

Banyak referensi tentang kehidupan manusia telah saya pelajari, khususnya dari buku-buku tasawuf. Sejauh ini saya pahami bahwa manusia memiliki tiga komponen yang tidak terpisahkan, yaitu fisik, akal dan ruh. Alhamdulillah, pada renungan saya di segmen terakhir bulan ramadhan 1432 H ini, terbuka pemahaman baru mengenai komponen pembentuk manusia. Tentu saya meyakini kebenaran pemahaman ini, tapi bagaimana pun saya tetap membuka kemungkinan adanya pemahaman yang lebih baik. Manusia terbentuk dari empat bagian atau komponen yang tidak terpisahkan, yaitu: Pertama, Fisik atau jasad. Inilah bagian paling mudah dikenali. Fisik merupakan komponen utama dari semua makhluk di bumi ini. Melalui fisik inilah keberadaan makhluk di bumi dapat dilihat, dirasa dan dikenali. Karena komponen fisik ada di seluruh makhluk bumi, baik makhluk hidup maupun mati, maka tingkatan fisik merupakan tingkatan terendah, setara dengan tingkatan tumbuhan, hewan, tanah dan seterusnya. Kedua, Nyawa at