Langsung ke konten utama

Kenapa Perlu Jadi Pengusaha

Tadi malam saya mendengar talk show di Smart FM yang menampilkan kisah sukses seorang pengusaha muda dari Jogja, sebut saja namanya Ridwan. Tanpa saya sadari kisah tersebut terbenam ke dalam pikiran saya. Sehingga pagi ini, dalam perjalanan dari rumah menuju kantor sembari menikmati macetnya kota Jakarta, pikiran saya terus merenung dan akhirnya sampai kepada topik, kenapa saya perlul menjadi pengusaha?

Beberapa tahun lalu yang tidak tahu persisnya, saya mendengar seorang motivator yang mengatakan bahwa untuk menjadi pengusaha sukses kita perlu mengetahui visi dan misi atau alasan yang kuat. Tanpa hal ini, kita tidak akan bisa menjadi pengusaha tangguh, justru sebaliknya gampang menyerah atau cepat puas.

Pada talk show tadi malam, Ridwan menceritakan, dirinya jatuh bangkrut tidak punya apa-apa lagi. Dia tidak punya tempat lagi untuk mengadu, bahkan kepada bapak atau pun saudara-saudaranya, karena semuanya telah dimintai hutang dan belum dilunasi. Dia hanya bisa mengeluh kepada Tuhan dan dirinya sendiri. Pada saat itulah dia membuat keputusan, harus menjadi pengusaha besar, apa pun resikonya. Dia tidak akan pernah kawatir apalagi takut dengan kegagalan, toh kegagalan terpahit sudah dirasakannya. Mulailah dia mengambil langkah-langkah berani, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia telah menikmati mimpinya.

Sejak 15 tahun yang lalu saya dan istri bekerja di perusahaan papan atas yang menjadi idaman banyak orang Indonesia. Saya menikmati gaji yang sangat memadai dan cukup untuk menghidupi keluarga. Saya tidak pernah kawatir dengan stabilitas keuangan maupun biaya pendidikan anak-anak.


Dengan pertimbangan keluarga, lima tahun yang lalu istriku memutuskan resign dari perusahaan tempat kami bekerja sedangkan saya tetap bekerja sebagai karyawan. Kemudian kami sepakat untuk membuat perusahaan sendiri. Pada awalnya perusahaan kami berjalan lancar, hingga suatu saat, ketika iklim bisnis sedang sangat sulit sementara istri harus konsentrasi mengurus bayi yang baru lahir dan saya sangat sibuk di kantor tempat saya bekerja, usaha kami merosot tajam dan merugi. Berbagai cara sudah kami coba untuk bangkit tapi hasilnya nol. Perusahan yang kami rintis terus merugi bahkan menyedot keuangan keluarga, hingga istri mengeluh karena kesulitan mengatur belanja bulanan. Suatu ketika kami harus membuat keputusan, jalan terus atau berhenti menjadi pengusaha. Jika jalan terus, kami harus siap menanggung konsekuensi keuangan keluarga bakal porak poranda, sementara jika berhenti, keuangan keluarga kami aman karena gaji saya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.


Saya renungkan kehidupan saya dengan sangat mendalam. Apakah saya tetap menjadi seorang karyawan dan hidup nyaman bahkan masih bisa bermimpi menjadi direktur, atau saya harus menjadi seorang pengusaha dan tidak menyerah pada kegagalan apa pun. Lama sekali saya tidak menemukan jawaban, sehingga perusahaan yang kami rintis semakin lama semakin menurun.


Terinspirasi dengan kisah Ridwan, nampaknya saya harus mencari alasan kenapa saya perlu menjadi pengusaha? Alasan Ridwan jelas tidak sesuai dengan keadaan saya, karena saya punya alternatif sebagai karyawan dengan keuangan mapan. Lalu apa alasannya?


Kini mulai kudapatkan alasan. Saya yakin alasan ini tidak statis, bisa berubah bersamaan dengan waktu dan perkembangan mental. Tapi setidaknya, saya meyakini alasan ini sangat mendalam, intrinsik, sangat 'gue banget' karena benar-benar muncul dari dalam diri yang paling dalam.
Kenapa saya perlu menjadi pengusaha?


Pertama. Memberi pekerjaan kepada banyak orang. Benar! Saya memang sedih melihat banyak sekali teman-teman semasa kecil di kampung yang tidak mempunyai pekerjaan yang memadai. Banyak dari mereka menjadi tukang ojek, sopir angkutan dan sejenisnya. Di sisi lain, saya senang sekali ketika awal bulan menyiapkan gaji untuk para karyawan. Saya merasa betapa bergunanya kehidupan saya, paling tidak untuk para karyawan. Saya berpandangan, menyiapkan gaji untuk karyawan jauh lebih mulia dari memberi sedekah kepada para fakir miskin dan pengemis! Ya, betul, inilah alasan paling valid, meyakinkan dan mulia. Tidak pernah ada kata lelah, capek apalagi menyerah untuk alasan sekuat ini.

Kedua. Berbuat lebih untuk sesama. Sejak semasa kuliah, bekerja di Surabaya, Makassar hingga saat ini di Jakarta saya sudah aktif mengurus masjid. Saya menyimpulkan, kehidupan saya tidak akan pernah jauh dari aktifitas sosial dan berbagi dengan sesama. Beberapa tahun lalu pernah terpikir, suatu saat saya ingin mendirikan yayasan, pesantren atau sejenisnya. Niat ini rasanya semakin menguat ketika tahu Bill Gates, Putra Sampoerna dan para pengusaha besar lainnya justru fokus mengurus foundation. Sulit rasanya mewujudkan mimpi ini tatkala saya tetap menjadi karyawan, bahkan sekelas direktur sekali pun. Menjadi pengusaha besar merupakan cara terbaik, bagi saya, untuk melihat mimpi ini menjadi nyata.

Ketiga. Teladan dan peninggalan bagi anak-anak. Dunia pengusaha dan dunia karyawan sungguh-sungguh berbeda. Kehidupan keluarga pengusaha juga jauh berbeda dengan keluarga karyawan. Menurut saya, dunia pengusaha adalah dunia yang cukup keras, tidak teratur dan tidak pasti namun semangat memberi cukup tinggi. Sedangkan dunia karyawan adalah dunia nyaman, teratur dan kepastian tinggi. Menampilkan contoh bagi anak-anak mengenai kehidupan dua dunia tersebut semoga memberi inspirasi positif untuk masa depan mereka. Begitu juga dengan peninggalan, memberi peninggalan bagi mereka berupa kail pancing, seperti mesin usaha, rasanya lebih baik dari pada memberi ikan, seperti harta konsumtif.

Kesulitan bahkan kegagalan memang bakal terus muncul, namun alasan-alasan tersebut cukup kuat bagi saya untuk terus mengembangkan perusahaan yang sudah saya rintis, tanpa kenal menyerah. Meskipun belum cukup kuat untuk memaksa saya keluar dari kantor tempat saya bekerja. Saya yakin dengan berpegang pada alasan dan visi yang benar, sukses akan datang pada waktunya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 360 Leader - John C Maxwell

Hampir semua pemimpin memiliki pimpinan yang lebih tinggi. Bolehlah dibilang, tidak ada pemimpin yang tidak memiliki pemimpin diatasnya. Karenanya, buku The 360 Leader karangan John C. Maxwell ini sejatinya adalah untuk semua pemimpin, bukan hanya untuk para manajer yang selalu berada di bawah para pemilik perusahaan. Pun demikian, penjelasan buku ini memang lebih difokuskan kepada para manajer, senior manajer dan para pemimpin sejenis dalam perusahaan yang berada di bawah kepemimpinan orang-orang di atasnya. Buku setebal 400 halaman ini mengawali penjelasanya dengan 7 mitos tentang memimpin dari bagian tengah. Berikutnya menjelaskan tantangan yang dihadapi pemimpin 360 Derajat. Pada bagian ketiga dijelaskan bagaimana memimpin ke atas. Bagian keempat dan kelima menjelaskan praktik memimpin ke samping dan ke bawah. Pada bagian akhir dijelaskan nilai-nilai pemimpin 360 Derajat. Prinsip utama dari kepemimpinan 360 derajat adalah bahwa pemimpin bukanlah posisi, melainkan pe

WIMAX KANDIDAT JARINGAN 4G

Pada awal tahun 2000-an, bahkan sampai dengan saat ini kita sudah sangat familiar dengan teknologi Wi-Fi, diantaranya adalah wireless yang kita gunakan sehari-hari di Laptop. Teknologi Wi-Fi di Laptop ini merupakan implementasi dari standar IEEE 802.11x, yang sebenarnya telah mengalami perkembangan dari mulai 802.11a, 802.11b sampai 802.11g. Perkembangan tersebut menghasilkan kecepatan dan jangkauan yang lebih baik, spektrum frekuensi yang lebih efisien dan sebagainya. Teknologi Worldwide Interoperability for Microwave Access (Wimax) merupakan implementasi standar IEEE 802.16x, yang notabene adalah pengembangan dari teknologi Wi-FI dengan standar IEEE 802.11. Wimax dikembangkan oleh Wimax Forum yang dimotori lebih dari 400 vendor global seperti Intel, Siemens, ZTE, Nokia dan lainnya. Secara umum kita mengenal dua jenis Wimax, yaitu Wimax untuk jaringan tetap atau disebut Fixed Wimax, dan Wimax untuk jaringan bergerak atau sering disebut Mobile Wimax. Teknologi Fixed Wimax mampu menduk

Liburan Keluarga di Kuala Lumpur

Masjid Putra Kunjungan Kuala Lumpur kali ini merupakan yang ke sekian kalinya, tapi menjadi yang pertama kali untuk liburan keluarga. Liburan keluarga selalu mendapatkan pengalaman yang berbeda dibandingkan liburan bersama teman kantor, apalagi jika dibandingkan dengan perjalanan dinas. Seperti biasanya, kami memilih untuk ''berjalan sendiri", tanpa bantuan agen travel atau pun guide lokal. Otomatis, saya akan menjadi EO sekaligus guide-nya. Kami sudah pesan tiket jauh hari, agar keluarga merasa nyaman dan tentu saja agar harga tiket lebih miring. Kami mendapat tiket Malaysia Airline PP sekitar 1,7 juta rupiah, karena berdekatan dengan liburan Natal. Jika waktu kunjungan jauh dari liburan bersama, mungkin bisa mendapatkan tiket lebih hemat. Untuk akomodasi, kami pilih tengah kota, agar mudah jalan kaki kemana pun, dan tentu saja dekat dengan Petronas Twin Tower. Tidak usah kawatir harga mahal, buktinya saya mendapatkan hotel butik yang sangat nyaman, denga